Senin, 04 Maret 2013
“Melaporkan bahwa 10 bulan ke depan, bumi akan memanas sebanyak 4 derajat Celcius dari sekarang. Kini glasier es Himalaya mencair dengan cepat. Iklim kita juga berubah drastis dan memburuk. Jadi, untuk kebaikan bumi kita, mari bersama mengantisipasi pemanasan global.
Yakni dengan melakukan: Tanam lebih banyak pohon. Jangan menyia-nyiakan air, air sangat berharga. Gunakan kantung kain, jangan plastik. Jangan membakar plastik. Kurangi penggunaan AC. Kurangi penggunaan parfum. Jangan menggunakan kendaraan yang masih berasap/2 tak/belum lulus uji emisi. Kurangi penggunaan listrik jika tak digunakan, terutama lampu.
Tolong jangan hapus sms ini sebelum meneruskannaya, setidaknya teruskan pada 1 orang. Tolong lakukan hal ini. Bantu menyelamatkan bumi, daripada melihat kehancuran bumi ini? Go Green and Love Our Earth, Save Our Planet!”
Begitulah isi sms panjang dari seorang sahabat (Yulia Loekito, 2012) pada awal April lalu. Kendati sudah lewat beberapa hari, tapi masih sangat relevan. Ketimbang meneruskan sms ini lewat telepon seluler, saya menjabarkannya dalam rubrik Opini di Suara Pendidikan ini. Sehingga dapat dibaca khalayak ramai di seluruh Indonesia. Terutama dalam rangka memperingati hari Bumi (22/4) pekan lalu.
Peringatan Hari Bumi (Earth Day) diselenggarakan pertama kali pada 22 April 1970 di Amerika Serikat. Penggagasnya ialah Gaylord Nelson, seorang senator dari Wisconsin yang juga dosen mata kuliah lingkungan hidup.
Gaylord Nelson berjuang sendirian sejak 1969. Saat itu, Gaylord Nelson memandang perlunya isu-isu lingkungan hidup masuk dalam kurikulum resmi perguruan tinggi. Benih gagasan ini kemudian menuai dukungan luas.
Puncaknya terjadi pada 22 April 1970. Saat itu, jutaan orang turun ke jalan, berdemonstrasi dan membanjiri Fifth Avenue di New York. Mereka mengecam korporasi dan pejabat publik yang merusak bumi. Majalah TIME mencatat bahwa 20 juta manusia turun ke jalan meneriakkan pesan cinta lingkungan.
Momentum ini kemudian menjadi tonggak sejarah lahirnya Hari Bumi. Gerakan massif untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet biru ini. Hari Bumi telah menjadi sebuah gerakan global yang mendunia hingga kini. Pelaksanaannya di seluruh dunia dikordinasi oleh Earth Day Network’s, sebuah organisasi nirlaba beraggotakan berbagai LSM di seluruh dunia.
Pemanasan Global
Dalam 100 tahun terakhir, memang suhu bumi – baik di dalam laut maupun di permukaan tanah - tercatat meningkat 0,75 derajat Celcius. Sehingga salju abadi (permafrost) di belahan kutub Utara dan Selatan lebih cepat mencair. Otomatis permukaan laut pun naik.
Beberapa daerah pesisir dunia mulai was-was mengantisipasi ancaman banjir. Kepulauan Nusantara terancam kehilangan 200 pulau kecil dan menengah. Pesisir kita di Jawa, umtra dan pulau besar lainnya akan bergeser.
Dalam konteks ini, perlu ada antisipasi terhadap kenaikan suhu yang diprediksi mencapai 4 derajat Celcius pada akhir 2012 menang. Sebab seperti kata pepatah, “Lebih baik mencegah daripada mengobati.”
Selain itu, masyarakat dunia juga terancam defisit air bersih. Akibatnya, produksi pertanian pun melorot drastis. Rawan pangan menjadi momok menakutkan. Michael Gorbachev mengatakan, “Jika terjadi perang dunia ketiga (PD III) itu bukan karena rebutan wilayah, tapi karena rebutan air dan makanan.”
Pun mewabahnya virus, mikroba, ulat bulu, flu burung (H1N1), dan tomcat merupakan efek samping perubahan iklim. Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan bahwa 90 persen kerusakan ini terjadi karena perbuatan manusia yang cenderung tak bersahabat dengan lingkungan alam sekitar.
Salah satu biang keladi dalam skala makro ialah Revolusi Industri (1800-1830). Kenapa? Karena saat itu dimulailah penggunaan bahan bakar fosil. Residu dari proses produksi massal berupa karbondioksida (CO2), methan (CH4), nitros oksida (NOx) dan ozone (O3). Hingga kini, gas-gas rumah kaca itu bertebaran di atmosfer bumi dan menjadi penyebab peningkatan suhu secara global.
Cara efektif untuk mengurangi dampak pemanasan global ialah melakukan penghematan energi dalam kehidupan sehari-hari. Matikan peralatan listrik yang tak dibutuhkan. Penggunaan listrik secara berlebih, selain memboroskan biaya listrik rumah tangga juga membebani PLN. Sehingga pemerintah terpaksa membangun lebih banyak Pembangkit Listrik atau meningkatkan kapasitas produksinya.
Akibatnya, penggunaan bahan bakar fosil untuk menjalankan Pembangkit Listrik tersebut bertambah. Panas yang dihasilkan otomatis menaikkan suhu di sekitarnya. Pun polusi CO2 tak terelakkan. Terobosan Dahlan Iskan mengganti BBM ke BBG dan tenaga surya (solar sell) di PLN layak diacungi 2 jempol.
Solusi lainnya ialah mengganti peralatan elektronik dengan yang hemat energi. Lampu rumah yang masih menggunakan jenis dop perlu diganti dengan lampu fluorescent. Menurut penelitian para ilmuwan, penggunaan lampu fluorescent di seluruh dunia dapat mengurangi emisi CO2 lebih dari 20 milyar kg. Nominal ini setara dengan pengurangan 2 juta mobil di jalan/tahun.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar